Definisi, Sifat, Fungsi Peranan dan
Deregulasi bank di Indonesia
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
“Bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary)”
Maksudnya adalah bank menjadi perantara keuangan antara pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (defisit unit).
“Bank memiliki fungsi sebagai “Agen Pembangunan” (Agent of Development)”
Sebagai badan usaha, bank tidaklah semata-mata mengejar keuntungan (profit oriented), tetapi bank turut bertanggung jawab dalam pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam hal ini bank juga memiliki tanggung jawab sosial.
Deregulasi Bank Indonesia
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
“Bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary)”
Maksudnya adalah bank menjadi perantara keuangan antara pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (defisit unit).
“Bank memiliki fungsi sebagai “Agen Pembangunan” (Agent of Development)”
Sebagai badan usaha, bank tidaklah semata-mata mengejar keuntungan (profit oriented), tetapi bank turut bertanggung jawab dalam pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam hal ini bank juga memiliki tanggung jawab sosial.
Deregulasi Bank Indonesia
Deregulasi perbankan adalah keadaan dimana terjadinya perubahan peraturan dalam perbankan, khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum tangguhnya keadaan perbankan Indonesia, disebabkan perbankan Indonesia adalah warisan dari negara penjajah di Indonesia sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengelola perbankan dengan baik dan Indonesia memang tidak didasari untuk belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal bank.
Deregulasi ini dimaksudkan dengan tujuan membuat suasana perbankan di Indonesia lebih stabil. Maka dibuatlah kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang perbankan Indonesia. Mulai dari 1 juni tahun 1983 yang memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Dilanjutkan dengan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru sehingga pada masa itu meledaklah jumlah bank di Indonesia. Lalu Paket Februari 1991 (Paktri) yang berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan sehingga diharapkan peningkatan kualitas perbankan Indonesia. UU Perbankan baru No 7 menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Hingga Pakmei pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali, dan terakhir dikeluarkannya PP No 68 tahun 1996, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya.
masa penjajahan
sebelum Indonesia
merdeka, tepatnya tanggal 10 Oktober 1827 di wilayah Hindia Belanda
(Nusantara), sudah didirikan bank oleh pemerintah Hindia Belanda. Bank tersebut
diberi nama De Javasche Bank kedudukan di Batavia (sekarang Jakarta).
Bank tersebut bukanlah milik pemerintah, namun semua pimpinannya diangkat oleh
pemerintah. Tujuan utama pendirian bank tersebut adalah untuk meningkatkan
perekonomian pemerintah Belanda. Pada tahun 1951, De Javashe Bank di
nasionalisasikan diganti namanya menjadi Bank Indonesia.
Selain bank yang didirikan oleh pemerintah
Hindia Belanda,ada juga bank yang didirikan oleh swasta yang dananya berasal
dari orang-orang Belanda, Inggris, Jepang, dan Cina. Bank-bank yang dimiliki
oleh orang Belanda adalah:
1. Nederland Handels Maatschappij (1824).
2. De Escomptobank N.V (1857), dan
3. Nationale Handelsbank (1863).
Bank-bank yang dimiliki oelh orang Inggris
adalah:
1. The Chartered Bank of Hindia.
2. Hongkong ShanghaiShanghai BankingBanking
Corporation.
Bank-bank yang dimiliki oleh orang inggris
adalah:
1. The Yokohama Shokin Bank, dan
2. The Mitsui Bank.
Bank-bank yang dimiliki oleh orang Cina
adalah:
1. The Overseas Chinese Banking Corporation.
2. The Bank of China.
3. NV Batavia Bank, dan
4. NV Bank Vereeninging Oei Tiong Ham.
Keberadaan
bank-bank swasta asing tersebut lebih bersifat menguntungkan orang-orang asing
dan bukunya memajukan perekonomian rakyat Indonesia. Namun, untunglah terdapat
beberapa tokoh (orang indonesia yang memikirkan nasib perekonomian rakyat.
Mereka mendirikan berbagai organisasi yang kegiatannya untuk meningkatkan
perekomonian orang indoensia.
Di antaraantara sekian banyak organisasi
yang muncul di indonesia yang sangat terkenal adalah:
1. Bank Bank Pyiyayi yang didirikan oleh Patih
Wiriaatmadja dii Purwokerto tahun 1896.
2. Indonesia StudyStudy Club, yang dipimpin
oleh Dr. Sutomo, mendirikan koperasi, sekolah tenun, pusat kerajinan, dan bank.
Bank yang didirikan di Surabaya diberi nama Bank Nasional Indonesia pada tahun
1925
3. NV Bank Boemi di Jakarta yang dipelopori
oleh Sumanang.
4. Bank Nasional Abuan Saudagar di
Bukittinggi.
Masa Kemerdekaan
Perkembangan I
setelah jepang
menyerah pada Perang Dunia kedua, Belanda kembali lagi ke Indonesia dengan
membonceng tentara Inggris. Akibanya, wilayah Indonesia saat itu terbagi menjadi
dua, yaitu Daerah Republik yang dikuasai oleh pemerintah Republik
Indinesia dan Daerah Federal yang diduduki oleh Belanda.
Di daerah Republik
terdapat bank pemerintah dan bank swasta. Bank pemerintah yang ada pada saat
itu adalah:
1. Bank Negara Indonesia (BNI) yang didirikan
tanggal 5 juli 1946.
2. Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang berasal
dari De Algemene Volkscredietbank.
Adapun bank - bank
swasta yang ada pada saat itu adalah:
1. Bank Surakarta Maskapai Andil Bumi Puteri
di Solo.
2. Bank Indonesia di Palembang.
3. Indonesia BankingBanking Corporaton di
Yogyakarta, dan
4. Bank Nasional Indonesia di Surabaya.
Di daerah Federasi
terdapat bank yang dimiliki oleh swasta, yakni :
1. NV Bank Soelawesi di Manado.
2. NV Bank Perniagaan Indonesia.
3. NV Bank Timoer di Semarang.
4. Bank Dagang Indonesia VV di Banjarmasin,
dan
5. Kalimantan TradingTrading Corpporation di
Samarinda.
Dewasa ini di
Indonesia terdapat banyak bankbank yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta
nasional dan swasta nasional dan swasta asing, namun, menurut fungsinya
bank-bank tersebut dapat dikelompokkan menjadi Bank Sentral yaitu Bank
Indonesia.
Bank Sentral di
atur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang
Kemandirian Bank Sentral, sedangkan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Sejumlah pasal UU tersebut mengalami perubahan melalui Undang-Undang
No. Tahun 1998.
Sebelum kedatangan
bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah
terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam
meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam
maraknya perniagaan tersebut belum ada matamata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk AsiaAsia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk AsiaAsia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada
akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan
industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan
ekspor ke wilayah AsiaAsia dan AmerikaAmerika. Pesatnya perdagangan di Eropa
memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal
lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda.
Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of
England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank
sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui FilipinaFilipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan HermanHerman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford RafflesRaffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui FilipinaFilipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan HermanHerman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford RafflesRaffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Perkembangan II.
Gagasan
pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia
Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada
saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak
didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I
menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9
Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu,
atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa
tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11
Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard PierrePierre Joseph
Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang
oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828
dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte
pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de
Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, statusstatus bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, statusstatus bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan
akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah
oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi
terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem
pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia
Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang
selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Perkembanngan III.
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 sertaserta UU 13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistikstatistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, sertaserta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Perkembangan IV
Pecahnya Perang
Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang
segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha
Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika
Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah
menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa
penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942,
diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas
bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang,
seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada
sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank
sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan
tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak
di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai
pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4
milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai
yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945,
juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari
uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri
dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret
1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar
delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan
memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan V.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Perkembangan VI.
Pada Desember
1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bankbank sentral tetap dipercayakan kepada
De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada
tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB
tetap sebagai bankbank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai
bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia
pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank
sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis matamata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis matamata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951
Deregulasi di Indonesia sejak tahun 1980
1. Paket Deregulasi 1 Juni 1983
Pada paket
deregulasi ini, Bank menentukan sendiri suku bunga deposito & suku bunga
pinjaman. Selain itu juga, deregulasi ini mempunyai dua pengendalian moneter
yaitu pengendalian moneter tanpa menentukan pagu kredit dan Pengendalian
moneter tidak langsung.
2. Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988
Untuk paket
kebijaksanaan27 Oktober 1988, melakukan perluasan jaringan keuangan &
perbankan ke seluruh wilayah Indonesia serta diversifikasi sarana dana untuk
kemudahan pendirian bank-bank swasta baru, pembukaan kantor cabang baru,
pendirian lembaga keuangan bukan bank di luar Jakarta, pendirian BPR, pemberian
ijin penerbitan sertifikat deposito bagi lembaga keu. bukan bank, perluasan
tabungan. Di samping itu, penurunan likuiditas wajib minimum dari 25% menjadi
2% dan penyempurnaan Open Market Operation dilakukan oleh paket kebijaksanaan
pada 27 Oktober 1988.
3. Paket Kebijaksanaan 25 Maret 1989
Memuat peleburan
usaha (merger) & penggabungan usaha bank umum swasta nasional, bank
pembangunan, BPR, penyempurnaan ketentuan pendirian & usaha BPR, pemilikan
modal campuran, penggunaan tenaga kerja professional WNA.
4. Paket Kebijaksanaan 19 Januari 1990
Peningkatan
efisiensi dalam alokasi dana masyarakat kearah kegiatan produktif &
peningkatan pengerahan dana masyarakat, mengurangi ketergantungan kepada KLBI,
kredit kepada KOPERASI, kredit pengadaan pangan & gula, kredit investasi,
kredit umum, KUK dan Kewajiban bagi bank untuk menyalurkan 25% dananya ke
bidang pengembangan usaha kecil & perorangan, juga merupakan target dari
paket kebijaksanaan ini.
5. Paket Kebijaksanaan 20 Pebruari 1991
Paket
Kebijaksanaan ini berisi kelanjutan Pakto 27 1988,yang antara lain ; Berkaitan
dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip prudential, pengawasan
& pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang
sehat & efisien, maka diperlukan disentralisasi dalam pelaksanaannya dan
emisahan antara pemilikan bank & manajemen bank secara professional.
6. Paket Kebijaksanaan 29 Mei 1993
Memperlancar
kredit perbankan bagi dunia usaha dengan jalan ; Mendorong perluasan kredit
dengan tetap berpedoman pada azas-azas perkreditan yang sehat, mendorong
perbankan untuk menangani masalah kredit macet, mengendalikan pertumbuhan
jumlah uang beredar & kredit perbankan dalam batas-batas aman bagi
stabilitas ekonomi dan pencanangan akan konsep kehati-hatian dalam pengelolaan
bank yang lebih menekankan kepada kualitas dalam pemberian kredit melalui
penilaian kembali terhadap aktiva produktif bank-bank.
Kesimpulan :
Deregulasi
perbankan yang dilakukan pemerintah melalui Paket Juni 1983 dan Paket 1988
telah berakibat tingkat persaingan antar bank menjadi semakin tinggi. Hl ini
dikarenakan semakin mudahnya seseorang atau suatu kelompok membuat bank baru di
Indonesia. Dampak positifnya adalah dengan deregulasi ini maka kondisi
perbankan di Indonesia sudah semakin maju. Sedangkan dampak negatifnya adalah
banyak pengusaha yang mensalahgunakan bank dan banyaknya tindakan KKN yang
disebabkan rendahnya pengawasan terhadap perbankan Indonesia
Sumber: :http://estiningsih.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/11263/KEBIJAKAN+MONETER+DAN+PERBANKAN.doc